William James Sidis : Pemilik IQ tertinggi di dunia
Allah menganugerahkan bakat serta kemampuan yang berbeda kepada setiap orang dengan tujuan agar orang tersebut dapat saling berinteraksi yaitu dalam hubungan saling membutuhkan. Jika ada banyak orang yang mempunyai kemampuan yang benar-benar sama, maka seseorang dapat dengan mudah memutuskan tali silaturahmi dengan orang lain. Toh ada orang lain yang sama yang dapat menggantikannya.
Bagaimana caranya agar kita dapat mengetahui bakat seseorang? Lalu bagaimana caranya mengelola bakat tersebut? Mengapa kebanyakan orang seolah-olah tidak mempunyai bakat apa-apa?
Hal tersebut diakibatkan dari penanganan yang tidak tepat atas seorang anak. Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater.
Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian? James Thurber seorang wartawan terkemuka, pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu sebelumnya.
Apa yang terjadi pada William James Sidis? Apakah tidak cukup ijazah Harvard College yang dimilikinya untuk mencari pekerjaan?
Sebenarnya hal yang tampak bagi orang lain sebagai bakat yang mengagumkan yaitu matematika, hanyalah salah satu faktor pendukung hidupnya. Masih ada kemampuan lain yang William James Sidis miliki yang tidak sempat diasah karena orang-orang sekitarnya terlanjur memaksanya belajar matematika. Padahal belum tentu William James Sidis menyukai belajar matematika.
Bagaimana caranya agar kemampuan yang lain dapat muncul hingga terlihat bakat-bakat yang dimiliki seorang anak?
Dalam berkomunikasi dengan anak tidak cukup hanya dengan bahasa verbal saja, kita juga memerlukan bahasa non verbal, dalam hal ini kemampuan berempati terhadap si anak. Jika kita dapat memahami keinginan si anak secara empati, rasa percaya diri serta kemampuan menentukan pilihan si anak akan tumbuh. Kedua kemampuan inilah yang membuat si anak dapat menunjukkan bakat-bakat dan kemampuannya kepada orang lain.
Yang menjadi masalah berikutnya adalah sejauh mana orang tua dapat berempati terhadap anak.
Siapakah William James Sidis? Peramal, Pengusaha, atau Ilmuwan?. Mungkin anda sudah merasa penasaran tentang siapa sih si William James Sidis ini, ya Sidis adalah salah satu manusia yang termasuk paling pintar yang pernah ada di bumi ini . Tapi pasti anda tidak tahu kan (bagi yang gak tau pasti gak taulah), ya karena Pria dengan IQ antara 250 – 300 ini tidak banyak digembar gemborkan seperti ilmuwan lain.
Kepintaran William James Sidis sudah terlihat sejak masih kecil. Pria yang lahir tanggal 1 April 1898 di New York ini pada usia 8 bulan sudah bisa menggunakan sendok sendiri (waduh kehebatannya udah keliatan neh, aku aja umur berapa ya baru bisa makan sendiri, biasanya sih disuapin tapi dulu [kok ceritanya curhat gini], dan pada umur 1 tahun 6 bulan ini sudah bisa membaca New York Times (buset dah umur segini aja udah bisa baca kayak gini, makan apa ya???). Dan pada umur 8 tahun sudah dapat berbahasa 8 bahasa (Latin, Yunani, Prancis, Jerman, Yahudi, Turki dan Armenian). Pada usia ini juga namanya menjadi langganan headline surat kabar, dan Sidis juga menulis beberapa buku tentang anatomi dan astronomi.
Timbul pertanyaan kenapa Sidis pada usia segitu sudah bisa segala hal ini , ya Sidis dapat berbahasa dan lainnya yaitu berkat sang Ayah Boris Sidis yang seorang Psikolog berdarah Yahudi. Boris ini adalah salah seorang lulusan Harvard dan juga murid dari William James (yang namanya dijadikan nama Sidis). Boris ini menjadikan anaknya sebagai contoh untuk sebuah model pendidikan baru sekaligus juga menyangkal sistem pendidikan konvensional yang dianggapnya telah menjadi biang keladi kejahatan, kriminalitas dan penyakit. Itu ayahnya, lain dengan Ibunya Sarah Mandelbaum Sidis yang terbunuh sekitar tahun 1889. Sarah merupakan Mahasiswi dari Universitas Boston dan lulus di School of Medicine tahun 1897 dan melanjutkan dengan belajar psikologi disana juga .
![wjdoctoredphoto wjdoctoredphoto](http://chillinaris.files.wordpress.com/2009/10/wjdoctoredphoto.jpg?w=216&h=400)
Tahun 1919, setelah dia keluar dari Harvard Law School, Sidis ditangkap oleh Sosialis May Day di Boston karena terlibat perkelahian. Dia di kurung selama 18 bulan di Sedition Act tahun 1918 karena kekacauan yang dibuatnya. Penangkapan Sidis menjadi headline di koran – koran, waktu di penjara dia menyatakan bahwa dia sungguh – sungguh mengutuk Perang Dunia Pertama dan dia tidak percaya kepada Tuhan dan juga dia merupakan sorang sosialis (meskipun nantinya dia mengembangkan filosofi buatannya sendiri yaitu “libertarianism” yang berasal dari pendapat sendiri dan merupakan kelanjutan dari kesosialan Amerika. Ayahnya membuat rencana dengan seorang pengacara untuk mengeluarkan Sidis dari penjara. Akhirnya setelah keluar keluarganya membawa Sidis ke Sanitorium untuk sedikit memperbaiki diri Sidis dan mengancam jika Sidis tidak menurut maka akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Setelah berhasil kembali ke East Coast tahun 1921, Sidis memutuskan untuk hidup bebas dan terasing, dan juga hanya membuat mesin – mesin untuk kerjanya. Dia bekerja di New York dan jauh dari keluarganya. Dia membutuhkan beberapa tahun sebelum akhirnya kembali ke Massachusetts dan juga nantinya ditangkap setelah setahun kemudian. Dia menghabiskan waktu untuk hobinya yaitu mengoleksi karcis trem, menerbitkan majalah dan mengajar kelompok kecil dari temannya tentang sejarah Amerika.
Tahun 1944, Sidis memenangkan penghargaan dari The New Yorker dari artikel tentang dirinya tahun 1937, meskipun terdapat banyak pernyataan yang salah. Setelah artikel dengan judul “Where Are They Now?”, Sidis juga menulis dengan nama samaran yang menceritakan tentang kehidupannya yang terasing , dengan judul “hall bedroom in Boston’s shabby South End”.
Tahun 1944, Sidis memenangkan penghargaan dari The New Yorker dari artikel tentang dirinya tahun 1937, meskipun terdapat banyak pernyataan yang salah. Setelah artikel dengan judul “Where Are They Now?”, Sidis juga menulis dengan nama samaran yang menceritakan tentang kehidupannya yang terasing , dengan judul “hall bedroom in Boston’s shabby South End”.
Orang – orang kemudian menulis bahwa kehidupan Sidis tidak bahagia. Popularitas dan kehebatannya pada bidang matematika membuatnya tersiksa. Sidis meninggal umur 46 di Boston pada tahun 1944 karena pendarahan di otaknya, Ayahnya juga mati karena penyakit yang sama umur 56 pada tahun 1923. Pada akhir hayatnya Sidis menyadari bahwa dirinya adalah hasil dari sebuah percobaan dari sang Ayah yang membuatnya mengasingkan diri ini. Sayangnya kesadaran memang sering datang belakangan.
Ya memang sangat mengharukan usaha Sidis untuk menjadi diri sendiri, tidak sebagai percobaan dari sang ayah. Mulai dari media pers dan publik yang menjadikan Sidis berita. Sehingga dia tidak punya privasi dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir karena penyakit. Semoga setelah membaca artikel ini anda mendapat hikmah dari cerita tentang orang terpintar yang kepintarannya mengalahkan ilmuwan seperti Einstein, Da Vinci dan Stuart Mills ini.